GIRI, NINJO, HONNE, TATEMAE, DAN WA DALAM BUDAYA JEPANG

  1. I.                    PENDAHULUAN

            Jepang merupakan negara yang mempunyai teknologi yang maju. Dengan bukti tersebut kita dapat langsung menyimpulkan bahwa orang Jepang adalah orang yang disiplin dalam bekerja. Pada umumnya pribadi orang Jepang itu adalah: (1) rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat untuk tingkah laku orang-orang Jepang, (2) kerjasama diantara semua anggota lebih didahulukan daripada tanggung jawab, otoritas dan inisiatif perorangan, dan (3) orang Jepang menilai bahwa keselarasan di atas kebenaran (jurnal pendidikan, 2000 : 76). Dengan demikian individu Jepang adalah orang yang menjaga keharmonisan dengan orang lain. Di lihat dari segi pemakaian bahasa pun dapat dilihat. Banyaknya ragam bahasa hormat dalam dunia bisnis yang dalam pemakaiannya sesuai dengan orang luar 外(soto) dan orang dalam 内(uchi).

Dengan kata lain dalam hidup bermasyarakat kita pasti memerlukan orang lain agar hidup menjadi selaras. Sebagai mahluk sosial kita selalu bergantung dengan orang lain, namun demikian dalam menjalin hubungan dengan orang lain tidaklah mudah, jangankan untuk orang atau bangsa lain (Jepang) dalam hubungan dengan bangsa sendiri terkadang juga sangat sulit. Setiap orang mempunyai prinsip dan sifatnya masing-masing. Namun demikian bangsa Jepang lebih mengutamakan kepentingan kelompok dari pada pribadi. Itu dapat terlihat dari sistem line yang diterapkan diberbagai perusahaan yang ada di Indonesia. Dengan menggunakan sistem tersebut setiap orang harus bekerja selaras dan seimbang dengan orang lain atau rekannya, tidak ada yang selesai lebih dulu atau bahkan ada yang terlalu lambat. Melihat hal itu kita dapat meyimpulkan bahwa bangsa Jepang mempunyai sifat yang disiplin dan teratur dalam menjaga keseimbangan bermasyarakat.

  1. II.                PEMBAHASAN

Giri adalah hubungan kemanusiaan. Pada zaman Edo (abad ke 17-19) menekankan pada suatu keharusan meskipun tidak sesuai dengan kata hati. Konsep giri pada awalnya memiliki arti perasaan berhutang budi, (jurnal UPI, 2000 : 80). Di Indonesia hal seperti ini pun banyak dilakukan. Ketika ada bencana tsunami banyak dari sukarelawan yang membantu tanpa meminta balasan. Konsep yang mungkin pernah timbul di Indonesia adalah gotong-royong yang pernah boomming pada masa pemerintahan orde lama, tetapi lama-kelamaan hal tersebut hilang dan berkembang menjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tetap saja orang yang kuat akan mendapat posisi yang lebih baik atau orang yang mempunyai banyak uang pasti akan lebih dihormati. Budaya Jepang memang sangat berbeda dengan budaya Indonesia walaupun kita sama –sama bangsa timur, cara pandang dalam menilai sesuatu sedikit banyak dilihat dari kepercayaan atau agama sedangkan dalam bangsa Jepang orang yang berbuat salah pasti akan merasa malu. Misalnya saja dalam pakaian, di Indonesia pasti banyak masyarakat yang mencibir atau aneh apabila melihat wanita memakai rok mini, pandangan yang timbul terhadap wanita yang memakai rok mini cenderung kearah yang negatif. Namun bagi pembelajar bahasa Jepang yang suka terhadap anime atau mangga pasti sudah terbiasa melihat pakaian yang mini yang dikenakan oleh anak sekolah Jepang. Itulah sebabnya maka anime atau mangga yang demikian akan bertentangan dengan norma yang berlaku dimasyarakat kita.

Ninjo adalah kasih sayang yang tidak terbatas pada unsur-unsur antara laki-laki dan perempuan. Ninjo yang terdapat dalam budaya Jepang dan Indonesia sepertinya tidak jauh berbeda, konsep ninjo sangat jelas yaitu hubungan kasih sayang antara sesama manusia. Saling tolong menolong dan membantu adalah hal yang hampir dimiliki oleh setiap negara. Namun demikian di Jepang ada kotowaza atau perumpamaan yang berbunyi jibun no koto wa jibun de shinasai yang mempunyai arti pekerjaan atau masalah sendiri selesaikanlah sendiri. Hal ini sangat dipegang teguh oleh masyarakat Jepang itu terlihat dari pemakaian kata apabila meminta sesuatu bantuan kepada orang lain. Misalnya ketika berkata yoroshiku ne atau yoroshiku onegaishimasu, setelah mengatakan permintaan. Banyak kosakata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan ketika ingin meminta sesuatu, misalnya yasumasete itadakitai to omoun desu ga yang mempunyai arti meminta tolong untuk menyuruh pembicara istirahat atau tidak masuk karena ada keperluan atau sakit (Tatematsu, 1993 : 26). Sedangakan budaya yang berlaku di Indonesia adalah mengutarakan alasan terlebih dahulu untuk meyakinkan pendengar supaya apa yang diminta dapat dikabulkan, misalnya ketika terlambat datang, hal pertama yang diutarakan adalah macet atau hujan yang dijadikan alasan bukan menyalahkan diri sendiri (kuliah SLA hari kamis, 29 Mei 2008). Giri dan ninjo merupakan satu kesatuan dalam kebudayan orang Jepang. Namun ada yang berpendapat bahwa giri sebagai konsep umum ditempatkan lebih tinggi dari pada ninjo.

Honne adalah substansi atau esensi, sedangkan tatemae adalah bentuk. Hubungan honne dengan tatemae seperti halnya hubungan antara kebenaran yang nyata dengan kebenaran umum (jurnal UPI, 2000 : 80). Dengan kata lain honne adalah fakta yang sebenarnya yang hakiki dan sesuai dengan kata hati, sedangkan tatemae adalah fakta permukaan, yang sifatnya kepura-puraan tidak mengetahui padahal ia mengetahuinya. Misalnya, anda bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan tertentu, sekalipun hampir tidak bisa dibenarkan, namun ternyata anda juga melakukan pekerjaan sampingan lainnya yang sama dengan bidang kerja anda di perusahaan lain yang merupakan kompetitor. Teman-teman sekerja anda mengetahui akan hal itu, tetapi mereka berpura-pura tidak mengetahuinya. Fakta bahwa anda mengetahui bahwa mereka mengetahui pekerjaan sampingan anda itu disebut honne, sedangkan kepura-puraan mereka bahwa mereka tidak mengetahuinya adalah tatemae. Contoh lainnya adalah, apabila kita mempunyai teman yang terlibat narkoba ada perasaan yang mengganjal apabila kita memberitahukannya kepada orang tua atau yang berwajib. Sekalipun maksud kita baik untuk menyelamatkan teman kita, tetapi akan sangat tidak fair apabila kita melihat teman kita menderita karena pengakuan kita. Konsep ini memang terlihat sangat ironis, sehingga pada kenyataannya banyak orang yang akhirnya tidak ingin tahu tentang masalah orang lain atau tidak ingin terlibat. Budaya seperti ini di Indonesia sepertinya lebih kepada tatemae yang melakukan kepura-puraan untuk menciptakan keharmonisan dalam bersosialisasi. Segala sesuatunya dibiarkan mengalis tanpa adanya usaha untuk menentang atau berseberangan.

Seperti yang dikemukakan (nakane, 1988) dalam menyampaikan pikirannya dalam diri orang Jepang ada sikap honne dan tatemae apa yang diucapkan belum tentu sama dengan apa yang ada dalam hatinya. Honne adalah ungkapan yang sama dengan isi hatinya, sedangkan tatemae sendiri adalah ungkapan yang tidak keluar dari hati sanubari. Misalnya, orang Jepang sering mengatakan enak bila disuguhi makanan oleh tuan rumah sekalipun rasanya tidak sesuai dengan lidahnya, atau bila ia tidak suka akan mengatakan bahwa rasa makanan itu merupakan rasa yang pertama kali dirasakan, tidak dengan gamblang mengatakan tidak enak atau kurang manis dan lain sebagainya. Berhubungan dengan cara pengutaraan masalah seperti tersebut di atas dalam lingkungan pariwisata, keluhan-keluhan turis Jepang biasanya tidak disampaikan langsung kepada pihak penyelenggara tour di Indonesia, melainkan pada agen penjual paket tour di Jepang. Namun bukan berarti juga bahwa keluhan yang disampaikan kepada pihak Indonesia  tidak ada.

Sekalipun harus mendapatkan keluhan dari pihak tamu maka kita tidak perlu merasa gusar atau menganggap remeh. Keluhan atau complain itu hampir bisa dikatakan adalah hal yang bisa dianggap biasa,  untuk memperbaiki kinerja dalam bisnis jasa, hal terbaik yang perlu dilakukan adalah menanggapinya  dengan cara yang benar dan mengadakan perbaikan.

Sebagai contoh apabila ada tamu yang berkunjung kesalah satu restoran dan pelayan yang mengantarkan pesanan salah membawa makanan yang di pesan maka, dapat berkata sumimasen, moushiwake arimasen yang mempunyai arti `maaf` dan lain sebagainya, kemudian mengutarakan alasan yaitu watashiga machigaemashita yang mempunyai arti `maaf saya (yang) salah` dan solusi yang berupa kalimat sugu omochi shimasu `segera saya bawakan (pesanannya)`.

Demikian sebaliknya bila kita melakukan keluhan terhadap tamu maka agar keluhan kita tidak menimbulkan ketidaknyamanan, kita juga sebaiknya mengutarakan dengan ungkapan seperti masyarakat Jepang, dengan cara yang tidak langsung dulu. Seandainya dengan ujaran yang tidak langsung tersebut lawan bicara belum memahami maksud kita maka barulah diutarakan secara langsung.

Wa (harmoni, kerukunan) merupakan satu istilah kunci dalam tata kehidupan Jepang. Oleh sebab itu, di Jepang, suatu perusahaan dianggap `keluarga besar` dan tidak ada garis yang tegas antara modal, manajemen, dan buruh. Ketiga unsur bersatu padu dalam suatu wa dalam memajukan perusahaan dan menyumbang pada kesejahteraan masyarakat di lingkungannya. Oleh sebab itu, wa atau konsep harmoni merupakan faktor yang sangat dijunjung tinggi dalam tata nilai tradisional Jepang. Hal ini dapat terlihat dari pemakaian kosakata ketika berbisnis berkenalan dengan orang lain. Orang Jepang biasa mengutarakan nama tempat dia bekerja terlebih dahulu dari pada namanya. Misalnya, Suzuki no Ari to moushimasu yaitu `saya Ari dari perusahaan Suzuki`. Begitu pun dalam lingkungan kerja ketika kita memperkenalkan manajer kita, harus dengan jabatannya terlebih dahulu misalnya, Kacho no Ito desu, `Ito manajer` bukan Ito no kacho desu, sekalipun kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia tidak mempunyai makna yang berbeda (Hiroko, 1998 : 3).

Dengan kata lain, kita lebih menghormati orang luar perusahaan dari pada orang dalam sendiri sekalipun orang tersebut adalah atasan atau bos kita. Salah satu tradisi lain adalah selalu menjaga hubungan insani antara senior dan yunior. Hubungan antara senior dan junior dalam lingkungan kerja biasa dikenal dengan 年功序列 nenkoo joretsu atau sistem senioritas bahkan diperusahaan Jepang apabila ada promosi beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah selain dari pada kemampuan tingkat kesenioritasan juga dijunjung tinggi, sekalipun sistem ini terdapat kekurangan, tetapi untuk menjaga keharmonisan tetap saja dilakukan (Unicom, 1991 : 86). Konsep seperti ini juga masih terdapat atau ditemui pada masyarakat kita. Sepertinya ada pandangan bahwa orang yang tua lebih bijak dalam memimpin atau mengayomi. Bisa memberikan solusi apabila terjadi kesalahan dan dianggap mempunyai pengalaman yang banyak sehingga pasti dapat menyelesaikan segala macam masalah. Namun seiring dengan perkembangan zaman banyak juga perubahan yang ditimbulkan atau peningkatan yang positif terjadi pada masyarakat kita. Adanya salah satu iklan di televisi yang menayangkan bahwa orang muda tidak dapat mendapat kerja yang bagus kalau belum terlihat tua. Itu membuktikan bahwa pandangan seperti ini sudah mulai berubah. Adanya stasiun TV yang mempekerjakan anak-anak muda dalam segala macam bentuk penyiarannya memperlihatkan bahwa anak muda sekarang lebih kreatif dan mempunyai potensi yang mampu menyamai atau bahkan mengungguli orang tua. Sudah saatnya para orang tua harus merasa legowo dan memberi kesempatan pada yang muda.

Dalam masyarakat bisnis di Jepang hubungan antara bawahan dan atasan sangat jelas, misalnya bila bawahan melihat atasannya membawa tas, maka bawahan akan segera menawarkan untuk membawakannya, dan orang yang sering membawakan tas atasannya atau bawahan seperti ini disebutnya juru bawa tas atau dalam bahasa Jepang disebut ‘kaban mochi’, nama ini mempunyai nuansa sedikit olok-olok (Okutsu, K. 1990).

Dalam masyarakat bisnis tamu adalah raja. Maka bila melihat “raja” dalam kesulitan maka sudah sewajarnya bila ditawarkan bantuan untuk meringankan bebannya. Tentu saja ini adalah budaya yang berlaku di negara kita, namun demikian lama kelamaan tidak semua orang berpikiran seperti ini lagi. Mungkin karena keadaan ekonomi yang sulit sehingga tidak dapat berlaku seperti yang seharusnya karena sibuk dengan bebannya sendiri. Berikut adalah Contoh kalimat yang dipergunakan apabila ingin membantu orang Jepang misalnya, apabila ada tamu berkunjung ke Borobudur sambil menggendong anak dan selain itu masih harus membawa sendiri barang-barangnya, maka sepatutnyalah ditawarkan bantuan kepada tamu tersebut dengan menggunakan ungkapan yang benar. Ungkapan yang dipakai sudah barang tentu adalah ragam merendah atau kenjoogo, karena menawarkan pekerjaan kepada pihak yang kita tinggikan. Pola merendah di sini adalah pola o-verba-suru. okyakusan, kaban o omochishimasu `mari saya bantu membawakan tasnya`.

Pada masyarakat pembelajar bahasa Jepang tingkat pemula, pola ini sering tertukar dengan bentuk verba–te ageru, okyaku-san kaban wo motte agemasu yang mempunyai arti serupa tetapi maknanya berbeda. Verba-te ageru ini bermakna melakukan pekerjaan untuk orang lain dengan suatu ‘pengorbanan’, sedangkan pola o-verba suru bermakna melalukan suatu pekerjaan untuk orang lain dengan merendah terhadap orang yang bersangkutan. Sehingga bila pemilihan ujaran ini tidak tepat maka menimbulkan kesan pemberi jasa lebih tinggi daripada “raja” tersebut dan tidak dengan suka hati.

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam menerima jawaban tamu apakah dia menolak atau menerima maka perlu juga kita memperhatikan kebiasaan berterimakasih dalam bahasa Jepang. Masyarakat Jepang ketika menerima suatu bantuan yang pertama kali diucapkan adalah ungkapan apology atau maaf, sedangkan pada masyarakat Indonesia bila mendapat bantuan, ucapan terimakasih adalah hal yang lumrah, oleh karena itu tidak mustahil kalau ada pemandu wisata  yang menginterpretasikan apology ini merupakan penolakan terhadap tawaran tersebut. Hal ini bisa digambarkan seperti dialog berikut:

A: kaban o omochi shimasu.

(sini bu, saya bawakan tasnya.)

T: sumimasen.

(maaf)

Jadi, ungkapan terima kasih karena telah mendapatkan bantuan dari orang lain dalam bahasa Jepang tidak selalu dengan kata ‘arigatou gozaimasu’. Tetapi bisa juga dengan sumimasen yang mempunyai makna yang sangat dalam karena sudah diberi bantuan.

Keharmonisan yang lain pun dapat terlihat pada masyarakat petani yang cenderung mempertahankan tradisi, memiliki sikap toleransi, rasa persaudaraan, sikap empati, menyukai perdamaian. sedangkan pada masyarakat perkotaan menganut gaya hidup kebaratan atau modern, hampir sebagian besar perfeksionis dengan mengutamakan kebersihan, ketelitian, kecepatan, kelancaran, sopan dan ramah serta informatif. Hal penting lain yang menjadi ciri orang Jepang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi, adalah komitmennya dalam mengembangkan perasaan simpati, penghargaan dan semangat. Di dalam pengambilan keputusan, orang Jepang beranggapan bahwa perbedaan pendapat dapat menjadi perubahan yang paling mendasar, sedangkan voting itu sendiri dianggap tidak dapat mengambil keputusan yang paling cocok. Mereka lebih suka menghindari pengambilan keputusan, agar tetap terpelihara keharmonisan hubungan antara sesama anggota kelompok. Menurut masyarakat Jepang, konflik dan konfrontasi secara serius dapat memutuskan hubungan yang harmonis. Jika terjadi konflik, masyarakat Jepang memiliki dua cara untuk mengatasinya. Cara yang unik, pertama dengan sistem nemawashi, dan kedua dengan sistem ringi. Fungsi nemawashi memberikan banyak waktu kepada masing-masing kelompok untuk menyampaikan keputusannya, menjelaskan tujuannya dan memberikan kesempatan untuk memahami informasi kesimpulan tersebut. Sedangkan di dalam sistem ringi keputusan sangat diharapkan dari seseorang yang dianggap superior.

Keduanya memiliki kekhasan. Pada kenyataan di lapangan, orang Jepang cenderung tidak ingin mencari masalah, ia ingin segala sesuatunya berjalan dengan lancar, cepat dan harmonis. Fungsi nemawashi dan fungsi ringi, seyogianya lebih dipahami untuk menjelaskan persepsi orang lain mengenai ketidakberanian orang Jepang untuk menyampaikan protes secara langsung. Dengan demikian, jika kita benar-benar ingin meningkatkan hubungan kerja sama, ataupun dalam rangka menarik wisatawan Jepang lebih banyak untuk datang ke daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia, akan sangat efektif bagi semua pihak yang berkepentingan untuk benar-benar memahami karakteristik dan kebiasaan orang Jepang.

  1. III.             SIMPULAN

 

Dari beberapa konsep yang telah dikemukakan di atas tergambarkan bahwa karakter orang Jepang berbeda dengan bangsa Indonesia sekalipun sama-sama berasal dari timur. Konsep tentang giri, ninjo, honne, tatemae, dan wa dapat menjadi pelajaran yang bagus untuk menjalin kerjasama dengan bangsa Jepang. Sekalipun dalam beberapa hal mempunyai kesamaan bukan berarti hal tersebut menjadikan kita puas diri dari apa yang ada.

Konsep-konsep atau kebudayaan tersebut dapat tercermin dari cara bertutur, menyelesaikan masalah, menolak permintaan, melakukan permohonan, dan mengutamakan orang lain atau kelompok. Keharmonisan tersebut semata-mata dilakukan untuk menciptakan rasa aman antara sesama mahluk hidup. Menundukkan kepala ketika mengucapkan salam merupakan bukti bahwa orang Jepang tidak ingin mencari masalah atau mempunyai arti bahwa dia tidak berbahaya bagi orang lain.

Dalam pemakaian kata pun ada berbagai tingkatan yang harus dipelajari dalam bahasa Jepang yaitu, Sonkeigo, Kenjoogo, dan Teineigo. Semua hal tersebut merupakan keigo atau ragam bahasa hormat yang dipakai oleh orang Jepang. Sekalipun ada beberapa orang yang berkata bahwa keigo juga merupakan hal yang sulit bagi orang Jepang tetap saja kita harus mempelajarinya. Bahasa Indonesia tidak mempunyai tingkatan dalam pemakaian bahasanya, sehingga bagi pembelajar bahasa Indonesia pasti akan merasa datar ketika mendengar kata-kata yang seharusnya diucapkan lebih sopan tetapi menjadi biasa. Kata makan dalam bahasa Jepang yang cukup banyak akan membingungkan para pembelajar bahasa Jepang. Misalnya kuu, tabemasu, gohan o itadakimasu, gohan o agatte irasshatte kudasai, dan meshiagarimasu (Sudjianto 2004 :188). Kelima kata tersebut sama-sama mempunyai arti makan tetapi ditujukan dan dipakai untuk berbagai keadaan, situasi dan lawan bicara.

Keharmonisan juga dapat dilihat dari cara orang Jepang berkorespondensi. Cara menulis surat yang mempunyai aturan-aturan dalam penulisan menggambarkan bahwa begitu teraturnya dan tersusunnya segala sesuatu. Hal terkecil sekalipun tidak dianggap remeh oleh orang Jepang. Mungkin karena bangsa Jepang hidup dalam empat musim yang memaksa untuk hidup lebih giat karena mengalami perubahan musim yang cepat. Dan Jepang merupakan negara yang mempunyai daerah yang tidak begitu besar, sehingga memaksanya untuk hidup lebih bersemangat untuk memanfaatkan apa yang ada. Dalam penulisan surat dapat dilihat bahwa salam yang digunakan adalah salam musim. Setiap bulan mempunyai salam musimnya masing-masing. Jepang begitu mengagungkan keindahan alam. Sebagai contohnya ketika bunga sakura mekar, banyak orang berbondong-bondong untuk melihat dan membawa bekal makanan untuk makan dan berkumpul dengan teman atau sahabat untuk bersenang-senang atau melepas lelah.

Dari beberapa hal yang telah dikemukakan, banyak hal yang dapat kita pelajari untuk menjaga keharmonisan lingkungan masyarakat kita. Tidak membuang sampah sembarangan, mementingkan kepentingan umum terlebih dahulu, dan lain-lainnya yang telah tertulis di undang-undang, semoga bukan menjadi slogan saja, tetapi dapat kita amalkan untuk menjaga keseimbangan dalam berbangsa dan bernegara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

ALC Press. 1993. Jitsuyoo Bijinesu Nihongo, Japan.

Dahidi, Ahmad & Sudjianto. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang, Kesaint Blanc. Jakarta.

Hiroko, Ikeda. 1998. Bijinesu no tame no Nihongo. Japan.

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang. 2000. UPI. Bandung.

Tatematsu, Kikuko & Yoko Tateoka. 1993. Formal Expressions for Japanese Interaction. The Japan Times, Japan.

Unicom. 1991. Nihongo no Nooryoku Shiken 2kyuu. Japan.

http://www.budpar.go.id  tanggal 02 Juni 2008.

http://www.bapeda.pemda- pentingnya memahami budaya.pdf. tanggal 02 Juni 2008.